Disusun oleh : Ahmad Hambali
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam
proses berbahasa terjadi proses memahami dan menghasilkan ujaran, yakni berupa kalimat-kalimat.
Oleh karena itu, Emmon Bach (Tarigan, 1985:3) mengemukakan bahwa psikolinguistik
adalah suatu ilmu yang meneliti bagaimana sebenarnya para pembicara/pemakai
bahasa membentuk/membangun kalimat-kalimat bahasa tersebut. Sejalan dengan
pendapat tersebut Slobin (Chaer, 2003:5) mengemukakan bahwa psikolinguistik
mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang
mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi dan
bagaimana kemampuan bahasa diperoleh manusia. Secara lebih rinci. Chaer
(2003:6) berpendapat bahwa psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur
bahasa, bagaimana struktur itu diperoleh serta digunakan pada waktu bertutur,
dan pada waktu memahami kalimat-kalimat dalam pertuturan itu.
Pada
hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami
ujaran. Dalam kaitan ini Garnham (Musfiroh, 2002:1) mengemukakan
psikolinguistik adalah studi tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang
yang menggunakan bahasa, baik pada saat memproduksi atau memahami ujaran’.
Produksi
kalimat tidak dapat dilakukan secara langsung, melainkan hanya dapat dilakukan
secara tidak langsung. Hal ini dikarenakan, langkah awal untuk mengetahui
tentang studi produksi kalimat adalah dengan mengobservasi kalimat yang
diujarkan. Kemudian melalui langkah selanjutnya, kita harus mencermati
bagaimana kalimat tersebut diujarkan, di mana pembicara senyap (pause), di mana
dia ragu, dan mengapa dia senyap dan ragu, serta kesalahan-kesalahan apa yang
dilakukan oleh pembicara yang mengujarkan kalimat tersebut.
Kesenyapan
dan keraguan di dalam ujaran atau kalimat terjadi karena pembicara lupa
kata-kata apa yang dia perlukan atau dia sedang mencari kata yang lebih tepat
untuk diujarkan. Sehingga terjadilah kesalahan di dalam berujar. Apalagi
ditambah dengan situasi-situasi yang menegangkan, seperti dalam situasi ujian.
Pasti semua orang akan merasakan nerveous atau gugup sehingga seseorang itu
tidak jarang akan melakukan senyapan dalam berujar. Seperti yang saya rasakan.
Dalam makalah
ini, data yang akan saya analisis adalah data saya sendiri dengan merekam suara
saat ujian mata kuliah Speaking. Dan ini akan menjadi menarik karena data yang
saya analisis ini adalah data pribadi, itu berarti menganalisis diri sendiri.
Dan lebih menarik lagi karena saya menganalisis ini dengan situasi ujian yang
tegang. Sehingga saya akan mengetahui seberapa sering saya melakukan senyapan
saat berujar.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengidentifikasi
ujaran-ujaran yang saya lakukan sendiri, jenis senyapan apa yang saya lakukan
saat berada dalam senyapan atau hesitate saat berujar.
1.3 Tujuan dan manfaat
Tujuan penulisan makalah ini adalah mengetahui
jenis senyapan apa yang saya lakukan saat berada dalam senyapan atau hesitate
saat berujar. Dan pada situasi apa saja saya melakukan senyapan saat
berkomunikasi.
Manfaat yang diperoleh dengan uraian ini,
adalah memahami dan mengatahui apa yang dimaksud dengan senyapan dan kilir
lidah, jenis senyapan apa saja yang paling dominan yang dilakukan oleh saya
sendiri.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
I.
PRODUKSI KALIMAT
Produksi ujaran mengatakan bahwa ujaran
diproses melalui tiga tahap konseptualisasi, formulasi, dan artikulasi (Meyer
2000: 49; Roelos 2000: 71-723). Tahap konseptualisasi merupakan tahap dimana
pembicara merencanakan struktur konseptul
yang akan disampaikan. Tahap
formulasi dinamakan juga sebagai tahap grammatical encoding yakni, tahap dimana
lema yang cocok direktif dari leksikon mental kita dan kemudian diberi kategori
dan struktur sintaktik (N, V, Adj, NP, VP, dsb) serta afiksasinya. Tahap yang
oleh Bock dan Levelt dinamakan phonological encoding adalah tahap artikulasi,
yakni tahap dimana kerangka serta isi yang sudah jadi itu diwujudkan dalam
bentuk bunyi.
Kesenyapan dan keraguan dalam ujaran terjadi
karena pembicara lupa kata-kata apa yang dia perlukanatau dia sedang mencari
kata yang paling tepat, dsb. Kesalahan yang berupa kilir lidah seperti kelapa dengan kepala menunjukkan bahwa kata ternyata tidak tersimpan secra utuh
dan orang harus meramunya (Meyer 2000: 51).
Kenyataan bahwa kilir lidah bisa memindahkan kata tanpa infleksinya (the weekend for maniacs terkilir menjadi
the maniac for weekends dimana –s
tidak iku pindah dengan maniac) menunjukkan bahwa mental kita memproses kata
dan infleksinya secara terpisah. Begitu juga kilir lidah yang dinamakan
transposisi (tank of gas menjadi gas of tank) menunjukkan bahwa kita
merencakan ujaran beberapa langkah kata ke depan dst.
A. SENYAPAN DAN
KILIR LIDAH
Yang dipakai untuk menyimpulkan proses mental
yang terjadi pada waktu kita berujar ada dua macam, yakni, senyapan (pause) dan
kekeliruan (errors). Kekeliruan itu sendiri terbagi menjadi dua kelompok,
yakni, kekeliruan karena kilir lidah dan kekeliruan karena pembicara menderita
afasia. Aitchison (1998:238; lihat juga Aicthison 1994: 18-21), menunjukkan
secara skematis bukti-bukti tak langsung untuk menyimpulkan bagaimana manusia
berujar.
A.1. SENYAPAN (pause)
Pengujaran yang ideal terwujud dalam suatu
bentuk ujaran yang lancer, sejak ujaran itu dimulai sampai ujaran itu selesai.
Kata-katanya terangkai dengan rapi, diujarkan dalam suatu urutan yang tak
terputus, dam kalaupun ada senyapan, senyapan itu terjadi pada konstituen-konstituen
yang memang memungkinkan untuk disenyapi. Intonasinya pun merupakan suatu
kesatuan dari awal sampai akhir. Akan tetapi, ujaran ideal seperti ini tidak
selamanya dapat kita buat. Tidak semua orang dapat berbicara selancar ini untuk
semua topic pembicaraan. Pada umumnya orang berbicara sambil berpikir sehingga
makin sulit topic yang dibicarakan makin besar jumlah senyapan yang muncul.
A.1.1. Macam Senyapan
Pada umumnya orang senyap sebentar, entah
untuk bernafas entah untuk keperluan yang lain. Pada waktu berbicara, senyap
untuk mengambil nafas sebenarnya tidak banyak hanya sekitar 5% (Aicthison 1998:
238). Senyapan yang lebih umum terjadi adalah pada waktu orang ragu-ragu
(hesitation). Kecuali ujaran tersebut telah merupakan klise hafalan, atau ujaran
itu telah dipersiapkan dengan baik sebelumnya, umunya 30-50% ujaran ditandai
oleh senyapan.
Akan tetapi, dalam banyak hal, kita malah
sering senyap waktu berbicara. Ada berbagai alasan mengapa orang senyap.
Pertama, orang senyap karena dia telah terlanjur mulai dengan ujarannya, tetapi
sebenarnya dia belum siap unutk seluruh kalimat itu. Karena itu, dia senyap
sejenak untuk mencari kat atau kata-kata untuk melanjutkan ujarannya. Kedua,
bisa juga kesenyapan seperti ini terjadi karena dia lupa kata-kata yang dia
perlukan. Karena itu, dia harus mencarinya untuk melanjutkan ujarannya.
Kemungkinan ketiga adalah bahwa dia harus sangat berhati-hati dalam memilih
kata agar dampaknya pada pendengar atau public tidak, misalnya, menghebohkan.
Tipe ketiga ini umunya terjadi pada pejabat public atau kaum politikus yang
harus berhati-hati memilih kata-katanya.
Ketidaksiapan maupun keberhati-hatian dalam
berujar seperti ini terwujud dalam dua macam senyapan: (1) senyapan diam dan
(2) senyapan terisi. Pada senyapan diam, pembicara berhenti sejenak dan diam
saja dan setelah menemukan kata-kata yang dicari dia melanjutkan kalimatnya.
Perhatikan contoh berikut:
(1)
Itu si…..
(kemarin kesini).
Setelah dia ,mengucapkan kata si, dia lupa
(sejenak) nama orang yang datang kemarin itu. Karena itulah dia senyap sebentar
untuk meretrif nama orang itu. Bila dia berhasil maka dilanjutkanlah kalimat
itu menjadi, misalnya,
(2)
Itu si …. Agus
kemarin ke sini.
Tidak mustahil bahwa proses untuk meretrif
kata itu tidak sepat sehingga diisilah senyapan itu dengan sesuatu. Pada bahasa
kita, kata-kata seperti anu, apa, itu,
siapa itu sering dipakai senbagai pengisi seperti terlihat pada contoh
berikut:
(3)
Itu si … Anu
(kemarin datang kesini).
Itu si siapa itu (kemarin datang kesini)
Saya mau cari apa itu (obat cacing)
A.1.2. Letak Senyapan
Senyapan keraguan tidak terdapat di sembarang
tempat. Akan tetapi, dimana persisnya belum ada kesepakatan yang mantap di
antara para ahli. Ada yang mengatakan bahwa senyapan seperti itu terdapat
terutama sesudah kata pertama dalam suatu klausa atau kalimat (Boomer 1965:
148-158), tetapi ada pula yang menyatakan bahwa senyapan terdapat terutama
sebelum bentuk leksikal yang penting (Goldman_Eisler 1964, dalam Aicthison
1998: 239). Namun demikian, tampaknya ada tempat-tempat dimana para ahli
sepakat (Clark & Clark 1977:267), yakni, (1) jeda grammatical, (2) batas
konstituen yang lain, dan (3) sebelum kata utama pertama dalam konstituen.
Jeda gramatikal (grammatical functure) adalah
tempat senyap untuk merencanakan kerangka maupun konstituen pertama dari
kalimat yang akan diujarkan. Senyapan seperti ini cenderung lama dan sering.
Senyapan seperti ini adalah logis karena senyapan ini dipakai pula untuk
bernafas. Dengan demikian, sebenarnya disini bukan termasuk yang tipe keraguan.
Malah sebenarnya dapat dikatakan bahwa senyapan keraguan justru tidak terdapat
di antara klausa, tetapi di dalam klausa (Aicthison 1998: 239).
A.2. KEKELIRUAN
Kekeliruan dalam wicara dapat disebabkan oleh
kilir lidah atau oleh penyakit afasia. Pada yang pertama, kekeliruan itu
terjadi karena kita tidak memproduksi kata yang sebenarnya kita kehendaki. Kita
memproduksi kata lain, kita memindah-mindahkan bunyi, atau kita mengurutkan
kata secara keliru. Ini berbeda dengan kekeliruan afasik. Kekeliruan afasik
muncul karena otak kita terganggu sehingga kita menjadi tidak mampu untuk
mengujarkan kata yang kita inginkan.
A.2.1 Kilir Lidah
Kilir lidah adalah suatu fenomena dalam
produksi ujaran dimana pembicara terkilir lidahnya sehingga kata-kata yang diproduksi
bukanlah kata yang dia maksudkan. Ada dua macam kilir lidah. Macam pertama
adalah kilir lidah yang munculnya disebabkan oleh seleksi yang keliru. Ada tiga
jenis disini: (a) seleksi semantic yang keliru, (b) malaproprisme, dan (c)
campur kata (blends). Macam kedua
adalah kekeliruan assembling-nya.
A.2.1.1 Kekeliruan Seleksi
Pada tipe semantic yang keliru, yang sering
juga disebut sebagai “Freudian slips”, orang meretrif kata yang ternyata bukan
yang dia inginkan. Kekeliruan seperti ini bukan acak sifatnya, tetapi ada
alasannya. Manusia menyimpan kata berdasarkan, antara lain, sifat-sifat kodrati
yang ada pada kata-kata itu. Kol, bayam, kangkung, termasuk kedalam satu
kelompok atau medan semantic dinamakan sayuran. Orang mungkin sekali membuat
kekeliruan seperti pada (1):
(1)
Kamu nanti beli
kol, maksud saya, sawi, ya
Tetapi
mustahil membuat kekeliruan seperti pada (2):
(2)
Kamu nanti beli
kol, maksud saya, pensil, ya
Karena
medan semantic anatar kol dan sawi adalah sama sedangkan anatara kol dan pensil
adalah berbeda.
A.2.1.2 Kekeliruan Asembling
Kekeliruan assembling adalah bentuk kekeliruan
dimana kata-kata yang terpilih sudah benar, tetapi assembling-nya keliru. Salah
satu bentuk kekeliruan ini adalah apa yang dinamakan transposisi. Pada
kekeliruan macam ini,orang memindahkan kata atau bunyi dari suatu posisi ke
posisi lain. Orang mengatakan (1) padahal yang dia maksud adalah (2).
(1)
I need a gas of
tank
(2)
I need a tank of
gas
Yang
ditukar tempatnya tidak hanya kata, tetapi bisa juga bunyi. Pewrhatikan orang yang
keliru mengucapkan kalimat berikut:
(3)
I caked my bake
Kata
kedua sebenarnya adalah baked
sedangkan kata keempat adalah cake.
Pada kekeliruan transposisi, orang menukar tempat bunyi /b/ dengan /k/ sehingga
muncullah kalimat (3) di atas.
A.2.2 Afasia
Afasia adalah suatu penyakit wicara dimana
orang tidak dapat berbicara dengan baik karena adanya penyakit pada otak dia.
Penyakit ini umumnya mjuncul karena orang tadi mengalami stroke, yakni sebagian
dari otaknya kekurangan oksigen shingga bagian tadi menjadi cacat.
A.3 UNIT-UNIT PADA KILIR LIDAH
Secara
garis besar, unit-unit pada kilir lidah adalah: fitur distingtif, segmen
fonetik, sukukata, kata, dan konstituen yang lebih besar dari kata.
A.3.1 Kekeliruan Fitur Distingtif
Kilir lidah yang unitnya adalah fitur
distingtif terjadi bila yang terkilir bukannya suatu fonem, tetapi hanya fitur
distingtif dari fonem itu saja, seperti contoh berikut:
(1)
Clear blue sky –
glear plue sky
Kekeliruan
dari clear ke glear sebenarnya bukan penggantian fonem /k/ menjadi /g/, tetpi
penggantian fitur distingtif {-vois} dengan {+vois}. Pada blue dan plue
kenalikannya, yakni, fitur distingtif {+vois} diganti dengan {-vois}.
A.3.2 Kekeliruan Segmen Fonetik
Kekeliruan yang lebih umum adalah kekeliruan
yang jumlah fiturnya lebih dari satu, seperti contoh berikut:
(1)
With this ring I
thee wed – with this wing I thee red
Left hemisphere – heft lemisphere
Bunyi
/r/ pada ring mempunyai titik artikulasi dan cara artikulasi yang berbeda
dengan /w/ pada wing; begitu juga bunyi /l/ dan /h/ pada left dan hemisphere.
Kekeliruan dimana bunyi yang saling mengganti ini berbeda lebih dari satu fitur
distingtif dinamakan kekeliruan segmen fonetik. Secara lain dapat dikatakan
bahwa kekeliruan seperti ini adalah kekeliruan dimana dua fonem tertukar tempat.
A.3.3 Kekeliruan Suku Kata
Tidak mustahil pula bahwa kekeliruan terjadi
pada suku kata. Dalam hal ini hamper selalu yang tertukar itu adalah konsonan
pertama dari suatu suku dengan konsonan pertama dari suku lain. Contoh:
(1)
Harp-si-cord =
carp-si-horp
a-ni-mal = a-mi-nal
dalam
bahasa kita sering kita temukan kekeliruan seperti ini. Kata-kata berikut
sering kita tangkap:
(2)
ke-pa-la =
ke-la-pa
A.3.4 Kekeliruan Kata
Kekeliruan ini terjadi bila yang tertukar
tempat adalah kata. Contoh seperti:
(1)
Tank of gas = gas
of tank
Go for broke = broke for go
A lighter for every purse = a purse for every
lighter
Menunjukkan
kekeliruan seperti ini. Pada umumnya orang menyadari bila dia telah membuat
kekeliruan sperti ini dan mengoreksinya. Akan tetapi, kadang-kadang kekeliruan
itu berlalu tanpa pembicara menyadarinya.
BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif. Pendekatan ini digunakan karena penelitian ini berkaitan
dengan data yang tidak berupa angka-angka, tetapi berupa percakapan atau dialog
oleh saya sendiri dengan teman-teman beserta dosen di ruang ujian, ataupun
ketika ujian akhir mata kuliah speaking
sedang berlangsung.
Data dalam penelitian ini berupa dialog oleh
saya sendiri saat berada di ruang ujian speaking. Pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan teknik rekam. Dimana teknik rekam yang saya lakukan adalah dengan
cara merekam suara saya sendiri saat berujar atau berdialog dengan dosen dan
teman-teman hingga saya selesai presentasi. Hasil rekaman kemudian akan
ditranskrip kedalam sebuah tulisan.
Berikut
adalah hasil transkrip rekaman yang akan saya analisis:
Aku
: “I think the classical music is …eeh… make me feel like …eeh…
relax , because basically I’m very like the music, therefore I can play the music of instrument. So, the song
of the classical music that I’ve heard is I can feel the meaning of that music.
Although the song is without a singer but I can feel …eeeh… touched, I feel relax, and smooth. But because I prefer hear
like the slow music and no rock music. …oooh…
when I heard the song I’m more like to hear that song when the afternoon. I
choose that situation because I think the afternoon is the good situation for
my relaxing because when the sun will be …what?...ehh…
no no no. So, …eeh… actually the
classical music is so nice for me. Like that.”
Mrs. Made: “That’s
all?”
Aku:
“That’s all.”
Mrs. Made: “That’s
all?”
Aku:
“The big effect for me is …eeeh… it can make me …eeh…
so relax, and touched. Because …eeeh… the classical music that I choose
is tell about the sadness. …eeeh….
Just it.
Mrs. Made: ”Okay?”
Aku:
“Okay. “
Mrs. Made: ”
Alright, thank you!”
Dennis: “Oh ya,
you say that because the classical music make you the …aaahh… make you …ooh…
feel not sad?”
Aku: “No, I feel
sad, relax, smooth, and touched.”
Dennis: “Touched?”
Aku: “I mean the song tell the sadness
the meaning of that song is the sadness.”
Dennis: “Maybe
…aaahh… I wrong to hear the
sadness.”
Adeh:
“Ya I agree with Hambali, …eeh… to listening the classical music
in the afternoon because I can feel relax after work and maybe Hambali say …eehh…he can go into the music to feel
the music and I agree wit that. And the classic music can make me relax, and
focus and enjoy to that in the silent situation.”
Sisi: ”I just wanna ask you, …eehh… how much you listen the Mozard
itself in a day? …eehh… and you
realize that it brings …eehh… a lot
of fun to you. How much in a day?”
Aku:
“…Ehh…
when I’m free when I didn’t get
the activities. But …eehh... on the
night every night I can hear the song.”
Sisi:
“Before ypu go to sleep?”
Aku:
“Yes. “
Sedangkan hasil analisis akan disajikan dengan
memaparkan bagaimana saya saat berdialog dengan melakukan senyapan.
BAB IV PEMBAHASAN
1. Analisis
Senyapan (pauses)
Ternyata pada saat-saat situasi yang
menegangkan dapat mempengaruhi psykologi seseorang saat berujar. Karena dengan
situasi seperti ini maka seseorang akan merasa tegang dan gugup. Seperti halnya
saya sendiri, situasi yang saya hadapi adalah situasi dimana saya sedang
menghadapi ujian Speaking. Pastinya tidak hanya saya yang merasakan ketegangan
saat menghadapi ujian tersebut, akan tetapi teman-teman juga merasakan hal yang
sama terlihat dari ujaran-ujaran yang mereka hasilkan. Oleh karena situasi yang
sangat tegang tersebut, maka tidak jarang saya melakukan senyapan saat berujar. Berikut adalah hasil ujaran saya
pada saat mempresentasikan sebuah topik yang menjadi bahan ujian Speaking dan
kemudian melakukan dialog dengan dosen dan teman-teman:
Aku
: “I think the classical music is …eeh… make me feel like …eeh…
relax , because basically I’m very like the music, therefore I can play the music of instrument. So, the song
of the classical music that I’ve heard is I can feel the meaning of that music.
Although the song is without a singer but I can feel …eeeh… touched, I feel relax, and smooth. But because I prefer hear
like the slow music and no rock music. …eeh…
when I heard the song I’m more like to hear that song when the afternoon. I
choose that situation because I think the afternoon is the good situation for
my relaxiation my relaxing because
when the sun will be …what?...ehh… no
no no. So, …eeh… actually the
classical music is so nice for me. Like that.”
Aku:
“The big effect for me is …eeeh… it can make me …eeh…
so relax, and touched. Because …eeeh… the classical music that I
choose is tell about the sadness. …eeeh….
Just it.
Aku:
“…Ehh…
when I’m free when I didn’t get
the activities. But …eehh... on the
night every night I can hear the song.”
Dari ujaran tersebut, terlihat banyak senyapan yang
terjadi pada saat saya berujar. Saya menyadari kenapa saya sering melakukan
senyapan, karena saya memang tidak menguasai topik yang dibicarakan, saya
berujar dengan spontan, tidak mempersiapkan terlebih dahulu bahan yang akan
saya presentasikan. Sehingga dari segi
bahasanya tidak terlalu baik, secara grammatikal juga kurang baik. Oleh
karena saya tidak menguasai topik, maka saya jadi sering berpikir, ragu-ragu,
dan terlalu berhati-hati saat ingin berujar, oleh karena itu saya sering
melakukan senyapan.
Dari ujaran tersebut di atas, dapat dilihat
bahwa saya melakukan senyapan dengan jenis senyapan terisi. Ketidaksiapan
maupun keberhati-hatian dalam berujar terwujud dalam dua macam senyapan: (1)
senyapan diam dan (2) senyapan terisi. Pada senyapan diam, pembicara berhenti
sejenak dan diam saja dan setelah menemukan kata-kata yang dicari dia
melanjutkan kalimatnya. Sedangkan senyapan terisi pada saat dia mengisi
senyapannya dengan bunyi-bunyi an. Seperti yang saya lakukan tersebut. Dari
hasil transkrip tersebut, dapat dilihat bahwa senyapan yang paling dominan saya
ucapkan adalah senyapan bunyi “Eeehh” dari awal hingga akhir
percakapan. saya sering mengisi senyapan dengan bunyi ini hanya sekedar
merupakan pengisi belaka. Saya memakai pengisi seperti ini, karena saya terlalu
berhati-hati untuk berujar, karena situasi ini adalah situasi dimana saya
berpikir dan meretrif kata, yang kemudian akan saya ujarkan setelah saya
mendapatkan kata-kata tersebut.
Akan tetapi, jenis senyapan terisi yang saya
hasilkan tidak hanya “eehh” saja, ada senyapan terisi
dengan bunyi “what?” juga. Dalam konteks tersebut, alasan kenapa saya
melakukan senyapan dengan mengisi kata “what?” dikarenakan denga alasan lupa
kata-kata yang saya perlukan. Saya harus meretrif kata-kata yang saya butuhkan
untuk saya lanjutkan kembali ujaran
saya. Akan tetapi dari hasil transkrip tersebut, saya tidak berhasil meretrif
kata-kata yang saya butuhkan, sehingga saya melakukan banyak senyapan yang lain
seperti “eehh” kemudian saya melanjutkan ke topik yang lain.
Dari ujaran tersebut, dapat juga dianalisis
bahwa senyapan keraguan tidak terdapat di sembarang tempat. Seperti saya
melakukan senyapan kebanyakan di tempat sebelum kata-kata utama atau kata penting.
Seperti senyapan terdapat terutama
sebelum bentuk leksikal yang penting (Goldman_Eisler 1964, dalam Aicthison
1998: 239). Namun demikian, ada juga tempat-tempat yang lain dimana saya
melakukan senyapan keraguan, seperti para ahli sepakat (Clark & Clark
1977:267), yakni, (1) jeda grammatical, (2) batas konstituen yang lain, dan (3)
sebelum kata utama pertama dalam konstituen.
2. Analisis
kekeliruan
Kekeliruan dalam wicara dapat disebabkan oleh
kilir lidah atau oleh penyakit afasia. Pada kilir lidah, kekeliruan itu terjadi
karena kita tidak memproduksi kata yang sebenarnya kita kehendaki. Kita
memproduksi kata lain, kita memindah-mindahkan bunyi, atau kita mengurutkan
kata secara keliru.
Kekeliruan yang saya lakukan ternyata tidak
banyak, mungkin karena saya saat berujar tidak terlalu cepat, akan tetapi
sedikit lambat. Dalam ujaran tersebut saya terkilir lidah yang disebabkan
oleh kekeliruan assembling. Kekeliruan
assembling adalah bentuk kekeliruan dimana kata-kata yang terpilih sudah benar,
tetapi assembling-nya keliru. Salah satu bentuk kekeliruan ini adalah apa yang
dinamakan transposisi. Pada kekeliruan macam ini,orang memindahkan kata atau
bunyi dari suatu posisi ke posisi lain. Kalimat tersebut sebagai berikut:
Aku : “I
think the classical music is …eeh…
make me feel like …eeh… relax , because basically I’m very like the
music, therefore I can play the music of
instrument. So, the song of the classical music that I’ve heard is I can
feel the meaning of that music.
Frase the
music of instrument adalah hasil
kilir lidah yang saya lakukan. Dimana maksud sebenarnya yang ingin saya ujarkan
adalah the instrument of music.
Karena kedua frase ini adalah
berbeda makna dan artinya. Disebabkan oleh rasa panik atau gugup maka tidak
sengaja saya terkilir lidahnya menjadi frase tersebut.
Jadi faktor luar yang sangat mempengaruhi
kenapa saya melakukan senyapan dan kekeliruan dalam berujar adalah karena
adanya desakan, paksaan, untuk berujar walaupun saya tidak menguasai topik
pembicaraan. Di tambah lagi dengan situasi-situasi yang menegangkan yang mebuat
saya gugup untuk berujar. Situasnya adalah situasi dimana saya sedang
menghadapi ujian.
BAB V PENUTUP
Tidak semua orang dapat berbicara dengan
lancar, akan ada senyapan dan kekeliruan saat
mereka berujar, apalagi jika berada
dalam situasi yang tegang, misalnya ketika menghadapi ujian, pasti ada rasa nervous atau gugup. Oleh karena itu,
tidak jarang seseorang itu akan melakukan banyak senyapan saat berujar. Teramasuk
saya sendiri, saya melakukan senyapan pada saat situasi tersebut. Alasan kenapa
saya melakukan senyapan tersebut karena saya gugup, tidak menguasai topik sepenuhnya
sehingga harus memaksakan diri untuk berpikir keras. Dan akhirnya terjadi
keragu-raguan dalam berujar, saya juga
terkadang lupadengan kosa kata yang akan
saya ucapkan sehingga saya susah untuk meretrif kata-kata tersebut.
BAB VI DAFTAR PUSTAKA
Pshsycolinguistic