Jumat, 15 Februari 2013

ANALISIS SENYAPAN DAN KEKELIRUAN SEBUAH DIALOG DALAM SITUASI MENEGANGKAN


Disusun oleh :  Ahmad Hambali
Universitas Pakuan Bogor
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dalam proses berbahasa terjadi proses memahami dan menghasilkan ujaran, yakni berupa kalimat-kalimat. Oleh karena itu, Emmon Bach (Tarigan, 1985:3) mengemukakan bahwa psikolinguistik adalah suatu ilmu yang meneliti bagaimana sebenarnya para pembicara/pemakai bahasa membentuk/membangun kalimat-kalimat bahasa tersebut. Sejalan dengan pendapat tersebut Slobin (Chaer, 2003:5) mengemukakan bahwa psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan bahasa diperoleh manusia. Secara lebih rinci. Chaer (2003:6) berpendapat bahwa psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, bagaimana struktur itu diperoleh serta digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami kalimat-kalimat dalam pertuturan itu.
Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami ujaran. Dalam kaitan ini Garnham (Musfiroh, 2002:1) mengemukakan psikolinguistik adalah studi tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik pada saat memproduksi atau memahami ujaran’.
Produksi kalimat tidak dapat dilakukan secara langsung, melainkan hanya dapat dilakukan secara tidak langsung. Hal ini dikarenakan, langkah awal untuk mengetahui tentang studi produksi kalimat adalah dengan mengobservasi kalimat yang diujarkan. Kemudian melalui langkah selanjutnya, kita harus mencermati bagaimana kalimat tersebut diujarkan, di mana pembicara senyap (pause), di mana dia ragu, dan mengapa dia senyap dan ragu, serta kesalahan-kesalahan apa yang dilakukan oleh pembicara yang mengujarkan kalimat tersebut.
Kesenyapan dan keraguan di dalam ujaran atau kalimat terjadi karena pembicara lupa kata-kata apa yang dia perlukan atau dia sedang mencari kata yang lebih tepat untuk diujarkan. Sehingga terjadilah kesalahan di dalam berujar. Apalagi ditambah dengan situasi-situasi yang menegangkan, seperti dalam situasi ujian. Pasti semua orang akan merasakan nerveous atau gugup sehingga seseorang itu tidak jarang akan melakukan senyapan dalam berujar. Seperti yang saya rasakan.
Dalam makalah ini, data yang akan saya analisis adalah data saya sendiri dengan merekam suara saat ujian mata kuliah Speaking. Dan ini akan menjadi menarik karena data yang saya analisis ini adalah data pribadi, itu berarti menganalisis diri sendiri. Dan lebih menarik lagi karena saya menganalisis ini dengan situasi ujian yang tegang. Sehingga saya akan mengetahui seberapa sering saya melakukan senyapan saat berujar.

 1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengidentifikasi ujaran-ujaran yang saya lakukan sendiri, jenis senyapan apa yang saya lakukan saat berada dalam senyapan atau hesitate saat berujar.
1.3 Tujuan dan manfaat
Tujuan penulisan makalah ini adalah mengetahui jenis senyapan apa yang saya lakukan saat berada dalam senyapan atau hesitate saat berujar. Dan pada situasi apa saja saya melakukan senyapan saat berkomunikasi.
Manfaat yang diperoleh dengan uraian ini, adalah memahami dan mengatahui apa yang dimaksud dengan senyapan dan kilir lidah, jenis senyapan apa saja yang paling dominan yang dilakukan oleh saya sendiri.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
I.                    PRODUKSI KALIMAT
Produksi ujaran mengatakan bahwa ujaran diproses melalui tiga tahap konseptualisasi, formulasi, dan artikulasi (Meyer 2000: 49; Roelos 2000: 71-723). Tahap konseptualisasi merupakan tahap dimana pembicara merencanakan struktur konseptul  yang akan disampaikan.  Tahap formulasi dinamakan juga sebagai tahap grammatical encoding yakni, tahap dimana lema yang cocok direktif dari leksikon mental kita dan kemudian diberi kategori dan struktur sintaktik (N, V, Adj, NP, VP, dsb) serta afiksasinya. Tahap yang oleh Bock dan Levelt dinamakan phonological encoding adalah tahap artikulasi, yakni tahap dimana kerangka serta isi yang sudah jadi itu diwujudkan dalam bentuk bunyi.
             Kesenyapan dan keraguan dalam ujaran terjadi karena pembicara lupa kata-kata apa yang dia perlukanatau dia sedang mencari kata yang paling tepat, dsb. Kesalahan yang berupa kilir lidah seperti kelapa dengan kepala menunjukkan bahwa kata ternyata tidak tersimpan secra utuh dan orang harus meramunya (Meyer 2000: 51).  Kenyataan bahwa kilir lidah bisa memindahkan kata tanpa infleksinya (the weekend for maniacs terkilir menjadi the maniac for weekends dimana –s tidak iku pindah dengan maniac) menunjukkan bahwa mental kita memproses kata dan infleksinya secara terpisah. Begitu juga kilir lidah yang dinamakan transposisi (tank of gas menjadi gas of tank) menunjukkan bahwa kita merencakan ujaran beberapa langkah kata ke depan dst.
A.     SENYAPAN DAN KILIR LIDAH
Yang dipakai untuk menyimpulkan proses mental yang terjadi pada waktu kita berujar ada dua macam, yakni, senyapan (pause) dan kekeliruan (errors). Kekeliruan itu sendiri terbagi menjadi dua kelompok, yakni, kekeliruan karena kilir lidah dan kekeliruan karena pembicara menderita afasia. Aitchison (1998:238; lihat juga Aicthison 1994: 18-21), menunjukkan secara skematis bukti-bukti tak langsung untuk menyimpulkan bagaimana manusia berujar.
A.1. SENYAPAN (pause)
Pengujaran yang ideal terwujud dalam suatu bentuk ujaran yang lancer, sejak ujaran itu dimulai sampai ujaran itu selesai. Kata-katanya terangkai dengan rapi, diujarkan dalam suatu urutan yang tak terputus, dam kalaupun ada senyapan, senyapan itu terjadi pada konstituen-konstituen yang memang memungkinkan untuk disenyapi. Intonasinya pun merupakan suatu kesatuan dari awal sampai akhir. Akan tetapi, ujaran ideal seperti ini tidak selamanya dapat kita buat. Tidak semua orang dapat berbicara selancar ini untuk semua topic pembicaraan. Pada umumnya orang berbicara sambil berpikir sehingga makin sulit topic yang dibicarakan makin besar jumlah senyapan yang muncul.

A.1.1. Macam Senyapan
Pada umumnya orang senyap sebentar, entah untuk bernafas entah untuk keperluan yang lain. Pada waktu berbicara, senyap untuk mengambil nafas sebenarnya tidak banyak hanya sekitar 5% (Aicthison 1998: 238). Senyapan yang lebih umum terjadi adalah pada waktu orang ragu-ragu (hesitation). Kecuali ujaran tersebut telah merupakan klise hafalan, atau ujaran itu telah dipersiapkan dengan baik sebelumnya, umunya 30-50% ujaran ditandai oleh senyapan.
Akan tetapi, dalam banyak hal, kita malah sering senyap waktu berbicara. Ada berbagai alasan mengapa orang senyap. Pertama, orang senyap karena dia telah terlanjur mulai dengan ujarannya, tetapi sebenarnya dia belum siap unutk seluruh kalimat itu. Karena itu, dia senyap sejenak untuk mencari kat atau kata-kata untuk melanjutkan ujarannya. Kedua, bisa juga kesenyapan seperti ini terjadi karena dia lupa kata-kata yang dia perlukan. Karena itu, dia harus mencarinya untuk melanjutkan ujarannya. Kemungkinan ketiga adalah bahwa dia harus sangat berhati-hati dalam memilih kata agar dampaknya pada pendengar atau public tidak, misalnya, menghebohkan. Tipe ketiga ini umunya terjadi pada pejabat public atau kaum politikus yang harus berhati-hati memilih kata-katanya.
Ketidaksiapan maupun keberhati-hatian dalam berujar seperti ini terwujud dalam dua macam senyapan: (1) senyapan diam dan (2) senyapan terisi. Pada senyapan diam, pembicara berhenti sejenak dan diam saja dan setelah menemukan kata-kata yang dicari dia melanjutkan kalimatnya. Perhatikan contoh berikut:
(1)   Itu si….. (kemarin kesini).
Setelah dia ,mengucapkan kata si, dia lupa (sejenak) nama orang yang datang kemarin itu. Karena itulah dia senyap sebentar untuk meretrif nama orang itu. Bila dia berhasil maka dilanjutkanlah kalimat itu menjadi, misalnya,
(2)   Itu si …. Agus kemarin ke sini.
Tidak mustahil bahwa proses untuk meretrif kata itu tidak sepat sehingga diisilah senyapan itu dengan sesuatu. Pada bahasa kita, kata-kata seperti anu, apa, itu, siapa itu sering dipakai senbagai pengisi seperti terlihat pada contoh berikut:
(3)   Itu si … Anu (kemarin datang kesini).
Itu si siapa itu (kemarin datang kesini)
Saya mau cari apa itu (obat cacing)

A.1.2. Letak Senyapan
Senyapan keraguan tidak terdapat di sembarang tempat. Akan tetapi, dimana persisnya belum ada kesepakatan yang mantap di antara para ahli. Ada yang mengatakan bahwa senyapan seperti itu terdapat terutama sesudah kata pertama dalam suatu klausa atau kalimat (Boomer 1965: 148-158), tetapi ada pula yang menyatakan bahwa senyapan terdapat terutama sebelum bentuk leksikal yang penting (Goldman_Eisler 1964, dalam Aicthison 1998: 239). Namun demikian, tampaknya ada tempat-tempat dimana para ahli sepakat (Clark & Clark 1977:267), yakni, (1) jeda grammatical, (2) batas konstituen yang lain, dan (3) sebelum kata utama pertama dalam konstituen.
Jeda gramatikal (grammatical functure) adalah tempat senyap untuk merencanakan kerangka maupun konstituen pertama dari kalimat yang akan diujarkan. Senyapan seperti ini cenderung lama dan sering. Senyapan seperti ini adalah logis karena senyapan ini dipakai pula untuk bernafas. Dengan demikian, sebenarnya disini bukan termasuk yang tipe keraguan. Malah sebenarnya dapat dikatakan bahwa senyapan keraguan justru tidak terdapat di antara klausa, tetapi di dalam klausa (Aicthison 1998: 239).

A.2. KEKELIRUAN
Kekeliruan dalam wicara dapat disebabkan oleh kilir lidah atau oleh penyakit afasia. Pada yang pertama, kekeliruan itu terjadi karena kita tidak memproduksi kata yang sebenarnya kita kehendaki. Kita memproduksi kata lain, kita memindah-mindahkan bunyi, atau kita mengurutkan kata secara keliru. Ini berbeda dengan kekeliruan afasik. Kekeliruan afasik muncul karena otak kita terganggu sehingga kita menjadi tidak mampu untuk mengujarkan kata yang kita inginkan.

A.2.1 Kilir Lidah
Kilir lidah adalah suatu fenomena dalam produksi ujaran dimana pembicara terkilir lidahnya sehingga kata-kata yang diproduksi bukanlah kata yang dia maksudkan. Ada dua macam kilir lidah. Macam pertama adalah kilir lidah yang munculnya disebabkan oleh seleksi yang keliru. Ada tiga jenis disini: (a) seleksi semantic yang keliru, (b) malaproprisme, dan (c) campur kata (blends). Macam kedua adalah kekeliruan assembling-nya.
A.2.1.1 Kekeliruan Seleksi
Pada tipe semantic yang keliru, yang sering juga disebut sebagai “Freudian slips”, orang meretrif kata yang ternyata bukan yang dia inginkan. Kekeliruan seperti ini bukan acak sifatnya, tetapi ada alasannya. Manusia menyimpan kata berdasarkan, antara lain, sifat-sifat kodrati yang ada pada kata-kata itu. Kol, bayam, kangkung, termasuk kedalam satu kelompok atau medan semantic dinamakan sayuran. Orang mungkin sekali membuat kekeliruan seperti pada (1):
(1)   Kamu nanti beli kol, maksud saya, sawi, ya
Tetapi mustahil membuat kekeliruan seperti pada (2):
(2)   Kamu nanti beli kol, maksud saya, pensil, ya
Karena medan semantic anatar kol dan sawi adalah sama sedangkan anatara kol dan pensil adalah berbeda.
A.2.1.2 Kekeliruan Asembling
Kekeliruan assembling adalah bentuk kekeliruan dimana kata-kata yang terpilih sudah benar, tetapi assembling-nya keliru. Salah satu bentuk kekeliruan ini adalah apa yang dinamakan transposisi. Pada kekeliruan macam ini,orang memindahkan kata atau bunyi dari suatu posisi ke posisi lain. Orang mengatakan (1) padahal yang dia maksud adalah (2).
(1)   I need a gas of tank
(2)   I need a tank of gas
Yang ditukar tempatnya tidak hanya kata, tetapi bisa juga bunyi. Pewrhatikan orang yang keliru mengucapkan kalimat berikut:
(3)   I caked my bake
Kata kedua sebenarnya adalah baked sedangkan kata keempat adalah cake. Pada kekeliruan transposisi, orang menukar tempat bunyi /b/ dengan /k/ sehingga muncullah kalimat (3) di atas.
A.2.2 Afasia
Afasia adalah suatu penyakit wicara dimana orang tidak dapat berbicara dengan baik karena adanya penyakit pada otak dia. Penyakit ini umumnya mjuncul karena orang tadi mengalami stroke, yakni sebagian dari otaknya kekurangan oksigen shingga bagian tadi menjadi cacat.
A.3 UNIT-UNIT PADA KILIR LIDAH
 Secara garis besar, unit-unit pada kilir lidah adalah: fitur distingtif, segmen fonetik, sukukata, kata, dan konstituen yang lebih besar dari kata.
A.3.1 Kekeliruan Fitur Distingtif
Kilir lidah yang unitnya adalah fitur distingtif terjadi bila yang terkilir bukannya suatu fonem, tetapi hanya fitur distingtif dari fonem itu saja, seperti contoh berikut:
(1)   Clear blue sky – glear plue sky
Kekeliruan dari clear ke glear sebenarnya bukan penggantian fonem /k/ menjadi /g/, tetpi penggantian fitur distingtif {-vois} dengan {+vois}. Pada blue dan plue kenalikannya, yakni, fitur distingtif {+vois} diganti dengan {-vois}.
A.3.2 Kekeliruan Segmen Fonetik
Kekeliruan yang lebih umum adalah kekeliruan yang jumlah fiturnya lebih dari satu, seperti contoh berikut:
(1)   With this ring I thee wed – with this wing I thee red
Left hemisphere – heft lemisphere
Bunyi /r/ pada ring mempunyai titik artikulasi dan cara artikulasi yang berbeda dengan /w/ pada wing; begitu juga bunyi /l/ dan /h/ pada left dan hemisphere. Kekeliruan dimana bunyi yang saling mengganti ini berbeda lebih dari satu fitur distingtif dinamakan kekeliruan segmen fonetik. Secara lain dapat dikatakan bahwa kekeliruan seperti ini adalah kekeliruan dimana dua fonem tertukar tempat.
A.3.3 Kekeliruan Suku Kata
Tidak mustahil pula bahwa kekeliruan terjadi pada suku kata. Dalam hal ini hamper selalu yang tertukar itu adalah konsonan pertama dari suatu suku dengan konsonan pertama dari suku lain. Contoh:
(1)   Harp-si-cord = carp-si-horp
a-ni-mal = a-mi-nal
dalam bahasa kita sering kita temukan kekeliruan seperti ini. Kata-kata berikut sering kita tangkap:
(2)   ke-pa-la = ke-la-pa

A.3.4 Kekeliruan Kata
Kekeliruan ini terjadi bila yang tertukar tempat adalah kata. Contoh seperti:
(1)   Tank of gas = gas of tank
Go for broke = broke for go
A lighter for every purse = a purse for every lighter
Menunjukkan kekeliruan seperti ini. Pada umumnya orang menyadari bila dia telah membuat kekeliruan sperti ini dan mengoreksinya. Akan tetapi, kadang-kadang kekeliruan itu berlalu tanpa pembicara menyadarinya. 




BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan ini digunakan karena penelitian ini berkaitan dengan data yang tidak berupa angka-angka, tetapi berupa percakapan atau dialog oleh saya sendiri dengan teman-teman beserta dosen di ruang ujian, ataupun ketika  ujian akhir mata kuliah speaking sedang berlangsung.
Data dalam penelitian ini berupa dialog oleh saya sendiri saat berada di ruang ujian speaking.  Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik rekam. Dimana teknik rekam yang saya lakukan adalah dengan cara merekam suara saya sendiri saat berujar atau berdialog dengan dosen dan teman-teman hingga saya selesai presentasi. Hasil rekaman kemudian akan ditranskrip kedalam sebuah tulisan.
Berikut adalah hasil transkrip rekaman yang akan saya analisis:
Aku : “I think the classical music is …eeh… make me feel like …eeh…  relax , because basically I’m very like the music, therefore I can play the music of instrument. So, the song of the classical music that I’ve heard is I can feel the meaning of that music. Although the song is without a singer but I can feel …eeeh… touched, I feel relax, and smooth. But because I prefer hear like the slow music and no rock music. …oooh… when I heard the song I’m more like to hear that song when the afternoon. I choose that situation because I think the afternoon is the good situation for my relaxing because when the sun will be …what?...ehh… no no no. So, …eeh… actually the classical music is so nice for me. Like that.”
Mrs. Made: “That’s all?”
Aku: “That’s all.”
Mrs. Made: “That’s all?”
Aku:  “The big effect for me is …eeeh… it can make me …eeh… so relax, and touched.  Because …eeeh… the classical music that I choose is tell about the sadness. …eeeh…. Just it.
Mrs. Made: ”Okay?”
Aku: “Okay. “
Mrs. Made: ” Alright, thank you!”
Dennis: “Oh ya, you say that because the classical music make you the …aaahh… make you …ooh… feel not sad?”
Aku: “No, I feel sad, relax, smooth, and touched.”
Dennis: “Touched?”
Aku: “I mean the song tell the sadness the meaning of that song is the sadness.”
Dennis: “Maybe …aaahh… I wrong to hear the sadness.”
Adeh: “Ya I agree with Hambali, …eeh… to listening the classical music in the afternoon because I can feel relax after work and maybe Hambali say …eehh…he can go into the music to feel the music and I agree wit that. And the classic music can make me relax, and focus and enjoy to that in the silent situation.”
Sisi: ”I just wanna ask you, …eehh… how much you listen the Mozard itself in a day? …eehh… and you realize that it brings …eehh… a lot of fun to you. How much in a day?”
Aku: “…Ehh… when I’m free when I didn’t get the activities. But …eehh... on the night every night I can hear the song.”
Sisi: “Before ypu go to sleep?”
Aku: “Yes. “
Sedangkan hasil analisis akan disajikan dengan memaparkan bagaimana saya saat berdialog dengan melakukan senyapan.

BAB IV PEMBAHASAN
1.      Analisis Senyapan (pauses)
            Ternyata pada saat-saat situasi yang menegangkan dapat mempengaruhi psykologi seseorang saat berujar. Karena dengan situasi seperti ini maka seseorang akan merasa tegang dan gugup. Seperti halnya saya sendiri, situasi yang saya hadapi adalah situasi dimana saya sedang menghadapi ujian Speaking. Pastinya tidak hanya saya yang merasakan ketegangan saat menghadapi ujian tersebut, akan tetapi teman-teman juga merasakan hal yang sama terlihat dari ujaran-ujaran yang mereka hasilkan. Oleh karena situasi yang sangat tegang tersebut, maka tidak jarang saya melakukan senyapan saat  berujar. Berikut adalah hasil ujaran saya pada saat mempresentasikan sebuah topik yang menjadi bahan ujian Speaking dan kemudian melakukan dialog dengan dosen dan teman-teman:
Aku : “I think the classical music is …eeh… make me feel like …eeh…  relax , because basically I’m very like the music, therefore I can play the music of instrument. So, the song of the classical music that I’ve heard is I can feel the meaning of that music. Although the song is without a singer but I can feel …eeeh… touched, I feel relax, and smooth. But because I prefer hear like the slow music and no rock music. …eeh… when I heard the song I’m more like to hear that song when the afternoon. I choose that situation because I think the afternoon is the good situation for my relaxiation my relaxing because when the sun will be …what?...ehh… no no no. So, …eeh… actually the classical music is so nice for me. Like that.”
Aku:  “The big effect for me is …eeeh… it can make me …eeh… so relax, and touched.  Because …eeeh… the classical music that I choose is tell about the sadness. …eeeh…. Just it.
Aku: “…Ehh… when I’m free when I didn’t get the activities. But …eehh... on the night every night I can hear the song.”
Dari ujaran  tersebut, terlihat banyak senyapan yang terjadi pada saat saya berujar. Saya menyadari kenapa saya sering melakukan senyapan, karena saya memang tidak menguasai topik yang dibicarakan, saya berujar dengan spontan, tidak mempersiapkan terlebih dahulu bahan yang akan saya presentasikan. Sehingga dari segi  bahasanya tidak terlalu baik, secara grammatikal juga kurang baik. Oleh karena saya tidak menguasai topik, maka saya jadi sering berpikir, ragu-ragu, dan terlalu berhati-hati saat ingin berujar, oleh karena itu saya sering melakukan senyapan.
Dari ujaran tersebut di atas, dapat dilihat bahwa saya melakukan senyapan dengan jenis senyapan terisi. Ketidaksiapan maupun keberhati-hatian dalam berujar terwujud dalam dua macam senyapan: (1) senyapan diam dan (2) senyapan terisi. Pada senyapan diam, pembicara berhenti sejenak dan diam saja dan setelah menemukan kata-kata yang dicari dia melanjutkan kalimatnya. Sedangkan senyapan terisi pada saat dia mengisi senyapannya dengan bunyi-bunyi an. Seperti yang saya lakukan tersebut. Dari hasil transkrip tersebut, dapat dilihat bahwa senyapan yang paling dominan saya ucapkan adalah senyapan bunyi “Eeehh” dari awal hingga akhir percakapan. saya sering mengisi senyapan dengan bunyi ini hanya sekedar merupakan pengisi belaka. Saya memakai pengisi seperti ini, karena saya terlalu berhati-hati untuk berujar, karena situasi ini adalah situasi dimana saya berpikir dan meretrif kata, yang kemudian akan saya ujarkan setelah saya mendapatkan kata-kata tersebut.
Akan tetapi, jenis senyapan terisi yang saya hasilkan tidak hanya “eehh” saja, ada senyapan terisi dengan bunyi “what?” juga. Dalam konteks tersebut, alasan kenapa saya melakukan senyapan dengan mengisi kata “what?” dikarenakan denga alasan lupa kata-kata yang saya perlukan. Saya harus meretrif kata-kata yang saya butuhkan untuk saya  lanjutkan kembali ujaran saya. Akan tetapi dari hasil transkrip tersebut, saya tidak berhasil meretrif kata-kata yang saya butuhkan, sehingga saya melakukan banyak senyapan yang lain seperti “eehh” kemudian saya melanjutkan ke topik yang lain.
Dari ujaran tersebut, dapat juga dianalisis bahwa senyapan keraguan tidak terdapat di sembarang tempat. Seperti saya melakukan senyapan kebanyakan di tempat sebelum kata-kata utama atau kata penting. Seperti  senyapan terdapat terutama sebelum bentuk leksikal yang penting (Goldman_Eisler 1964, dalam Aicthison 1998: 239). Namun demikian, ada juga tempat-tempat yang lain dimana saya melakukan senyapan keraguan, seperti para ahli sepakat (Clark & Clark 1977:267), yakni, (1) jeda grammatical, (2) batas konstituen yang lain, dan (3) sebelum kata utama pertama dalam konstituen.
2.      Analisis kekeliruan
Kekeliruan dalam wicara dapat disebabkan oleh kilir lidah atau oleh penyakit afasia. Pada kilir lidah, kekeliruan itu terjadi karena kita tidak memproduksi kata yang sebenarnya kita kehendaki. Kita memproduksi kata lain, kita memindah-mindahkan bunyi, atau kita mengurutkan kata secara keliru.
Kekeliruan yang saya lakukan ternyata tidak banyak, mungkin karena saya saat berujar tidak terlalu cepat, akan tetapi sedikit lambat. Dalam ujaran tersebut saya terkilir lidah yang disebabkan oleh  kekeliruan assembling. Kekeliruan assembling adalah bentuk kekeliruan dimana kata-kata yang terpilih sudah benar, tetapi assembling-nya keliru. Salah satu bentuk kekeliruan ini adalah apa yang dinamakan transposisi. Pada kekeliruan macam ini,orang memindahkan kata atau bunyi dari suatu posisi ke posisi lain. Kalimat tersebut sebagai berikut:
Aku : “I think the classical music is …eeh… make me feel like …eeh…  relax , because basically I’m very like the music, therefore I can play the music of instrument. So, the song of the classical music that I’ve heard is I can feel the meaning of that music.
Frase the music of instrument  adalah hasil kilir lidah yang saya lakukan. Dimana maksud sebenarnya yang ingin saya ujarkan adalah the instrument of music.  Karena kedua frase ini adalah berbeda makna dan artinya. Disebabkan oleh rasa panik atau gugup maka tidak sengaja saya terkilir lidahnya menjadi frase tersebut.
Jadi faktor luar yang sangat mempengaruhi kenapa saya melakukan senyapan dan kekeliruan dalam berujar adalah karena adanya desakan, paksaan, untuk berujar walaupun saya tidak menguasai topik pembicaraan. Di tambah lagi dengan situasi-situasi yang menegangkan yang mebuat saya gugup untuk berujar. Situasnya adalah situasi dimana saya sedang menghadapi ujian.

BAB V PENUTUP
Tidak semua orang dapat berbicara dengan lancar, akan ada senyapan dan kekeliruan   saat mereka  berujar, apalagi jika berada dalam situasi yang tegang, misalnya ketika menghadapi ujian, pasti ada rasa nervous atau gugup. Oleh karena itu, tidak jarang seseorang itu akan melakukan banyak senyapan saat berujar. Teramasuk saya sendiri, saya melakukan senyapan pada saat situasi tersebut. Alasan kenapa saya melakukan senyapan tersebut karena saya gugup, tidak menguasai topik sepenuhnya sehingga harus memaksakan diri untuk berpikir keras. Dan akhirnya terjadi keragu-raguan dalam berujar,  saya juga terkadang  lupadengan kosa kata yang akan saya ucapkan sehingga saya susah untuk meretrif kata-kata tersebut.

BAB VI DAFTAR PUSTAKA
Pshsycolinguistic